Asah Kecerdasan Naturalis

SETIAP anak terlahir dengan bakat tertentu. Kondisi lingkungan yang buruk dapat menghambat pengembangan potensinya, terutama kecerdasan naturalis.

Setiap orangtua berkewajiban menghantarkan anak-anaknya mewujudkan bakat dan potensi yang dimiliki. Seorang anak disebut berbakat jika dia memiliki kemampuan dalam dirinya.

Psikolog anak dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, Fabiola Priscilla Setiawan MPsi, mengemukakan, ciri anak berbakat di antaranya memiliki IQ lebih dari 130, CQ minimal 250, dan punya motivasi atau mampu mengikatkan diri terhadap tugas.

"Mereka juga senang bereksplorasi atau menjajaki suatu hal atau objek," sebut wanita yang akrab disapa Feby.

Bakat berkaitan dengan sistem kerja belahan otak kiri dan kanan. Otak kanan berhubungan dengan kreativitas, imajinasi, intuisi. Sementara otak kiri mengacu pada kecerdasan seseorang. Salah satu dari sembilan aspek multi-kecerdasan (multiple intelligence) yang dikemukakan Dr Howard Gardner adalah kecerdasan naturalis alias kecerdasan alami, termasuk kepekaan terhadap alam.

Setiap anak memilikinya, walaupun kadarnya berbeda dan dipengaruhi faktor-faktor seperti minat dan karakter lingkungan sekitar. Misalnya, anak yang tinggal di pinggir pantai dengan mudah menebak jenisjenis ikan, jenis bebatuan, atau menerka gejala alam.

Sementara itu, anak-anak yang sejak kecil berdiam di pegunungan biasanya pandai menebak arah angin, dan mengenali jenis tanaman.

"Untuk mengasah kecerdasan naturalisnya, ajarkan anak berkreasi dengan bahan-bahan alam dan menikmati sistem kehidupan alam," tutur Feby.

Permasalahan yang kini dihadapi, apakah lingkungan sekarang memungkinkan anak mengoptimalkan potensi kecerdasan naturalisnya? Feby menilai, kondisi lingkungan yang makin buruk, seperti terjadinya pemanasan global (global warming), menunjukkan efek negatif bagi perkembangan fisik dan psikologis anak.

Ibu satu putri itu mencontohkan, seorang anak yang sebenarnya punya hobiberenang atau menyelam untuk mengoleksi batu-batu alam jadi takut terjun ke air karena khawatir airnya telah tercemar.

Bumi yang makin tidak "hijau" juga membuat anak tidak lagi mengenal keragaman flora dan fauna yang punah akibat naiknya suhu air laut.

"Penelitian di bidang psikologi lingkungan menunjukkan, memanasnya suhu udara dapat memengaruhi kondisi emosi seseorang menjadi lebih mudah marah, cenderung agresif, dan merusak," sebut Feby.

Masalah lain akibat ulah manusia adalah banjir dan kebakaran. Kondisi ini dapat membuat anak mengalami trauma karena kehilangan keluarga dan tempat tinggal. Ditambah keluhan fisik seperti luka, diare, dan leptospirosis akibat banjir, serta gangguan pernafasan.

"Anak jadi mudah terserang batuk, pilek, atau sakit saat menelan," papar konsultan tumbuh kembang dari RSAB Harapan Kita, dr Attila DewantiSpA(K).
(sindo//oz)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar