MENGAPA SAYA TIDAK BAHAGIA ?


Latar belakang keluarga yang berbeda, tanpa sadar membuat harapan-harapan mereka akan peran serta cara berkomunikasi antara suami dan istri juga berada di sudut yang berbeda. Dapatkah mereka menemukan jembatan penghubungnya?
Cerita Yuniar

“Saya harus mulai bercerita dari mana ya Bu? Saya bingung, habis baru pertama kali ini saya berkonsulitasi”, Yuniar membuka percakapannya.

“Sejak masih pacaran, saya sudah tahu Yoni itu punya temperamen yang keras, selalu ingin menang sendiri dan sangat senang dipuji. Kelihatannya ini ada hubungannya dengan perlakuan ibunya sejak kecil. Karena merupakan anak lelaki pertama dan satu-satunya dalam keluarga, Yoni merupakan anak ‘emas’. Kebetulan Yoni memang paling pandai dan populer diantara adik-adik perempuannya sehingga tidak heran bila keluarga besar Yoni juga amat bangga padanya”.

“Sementara, masa kecil saya tidak seindah Yoni. Sebagai anak pertama dalam keluarga saya justru banyak menerima tanggung jawab mengurus rumah tangga dan adik-adik.”

“Saya berkenalan dengan Yoni saat kami masih kuliah. Terus terang saya bangga sekali menjadi pacarnya, karena dia termasuk mahasiswa yang berprestasi dan populer. Ditambah lagi, dia juga royal membelikan saya barang-barang yang mahal.”

Yuniar memandang ke luar jendela, dan tiba-tiba senyumnya mulai hilang dari wajahnya. “Tetapi di balik itu semua, saya sering merasa sakit hati dan tidak dihargai oleh Yoni, terutama bila ia sedang marah atau saya tidak mau mengikuti saran-sarannya. Kata-katanya sangat kasar dan menyakitnya bila dia marah walaupun kesalahan saya tidak besar. Sesudah itu ia biasanya mendiamkan saya beberapa hari sampai saya yang harus minta maaf terlebih dulu. Sampai saat ini belum pernah saya mendengar kata maaf dari dia”, suara Yuniar meninggi dan ia mulai menangis.

“Sesudah menikah sikap sombong dan kata-kata kasarnya semakin sering muncul. Saya rasanya tidak seperti istri tetapi lebih seperti bawahannya di kantor. Dia mengkritik cara saya mengurus anak, pakaian yang saya pilih, masakan saya, dan bahkan teman-teman saya. Walaupun saya sudah berusaha mengikuti segala keinginannya, usaha saya itu tidak pernah dihargai.” Yuniar berusaha menahan tangisnya.

“Saya tidak pernah menceritakan masalah saya ini kepada keluarga maupun teman-teman saya. Saya tidak ingin menambah beban kedua orangtua. Yang mereka tahu, saya hidup serba berkecukupan dan bahagia, dan saya bisa mengirim uang cukup banyak setiap bulannya untuk mereka berdua. Teman-teman saya di kantor banyak yang merasa iri pada saya karena memiliki suami yang pandai, kaya dan tidak pelit. Seandainya saja mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi …”, kata Yuniar dengan tersenyum sinis.

“Dua bulan terakhir ini kondisi emosi saya memburuk. Saya sering menangis tanpa sebab, bahkan saat di kantor. Biasanya saya akan pergi ke kamar kecil agar teman-teman tidak tahu. Saya akhirnya bercerita kepada salah satu teman dekat saya yang melihat perubahan pada diri saya. Dialah yang menyarankan saya untuk datang kepada Ibu. Awalnya saya ragu-ragu untuk ke sini. Masa iya, menghadapi masalah seperti ini saja saya tidak bisa. Kalau dipikir-pikir, Yoni juga termasuk suami yang baik karena dia tidak pernah memukul saya atau berselingkuh. Dia juga mencukupi semua kebutuhan saya dengan baik. Tetapi kenapa saya tidak bahagia ya Bu? Apakah saya menuntut terlalu banyak?”

Cerita Yoni

“Terus terang saya kaget sekali waktu Yuniar cerita tentang pertemuannya dengan Ibu,” Yoni terlihat agak tegang. “Saya tidak menyangka kalau dia sedang bermasalah besar malah mengaku depresi. Saya bukan suami yang pelit lho. Ibu boleh tanya sama dia berapa uang bulanan yang saya berikan, pasti lebih dari cukup. Tetapi kalau Yuniar merasa saya kurang perhatian padanya, bisa dimengerti sih. Jujur saja, saya bukan tipe pria yang pandai merayu dan romantis”, kata Yoni dengan nada serius. Duduknya tidak menyandar pada sofa.

“Sejak pacaran Yuniar sudah tahu bahwa saya ya seperti ini; keras kepala dan punya kemauan kuat. Sebagai anak lelaki satu-satunya saya merasakan beban yang berat karena harus menjadi yang terbaik. Ayah saya merupakan pengusaha yang amat sukses dan berwawasan luas. Tetapi karena ayah saya amat sibuk, saya jadi lebih dekat dengan ibu. Lucunya, Yuniar kadang-kadang cemburu melihat kedekatan saya dengan ibu. Dia berpendapat bahwa saya merupakan anak emas dalam keluarga dan lebih mengikuti kata-kata ibu saya daripada istri”, ujar Yoni lagi. Kali ini ada senyuman di bibirnya. Tampaknya ketegangannya mulai berkurang.

“Beberapa tahun terakhir ini karir saya memang menanjak dengan cepat, tentunya berkat kerja keras saya selama ini. Saya senang sekali bisa menunjukkan kepada keluarga bahwa saya merupakan anak yang berhasil”, ungkap Yoni dengan nada bangga.

“Nah, dengan posisi seperti ini, saya memang tidak punya banyak waktu untuk keluarga, termasuk untuk Yuniar. Yuniar pun menuduh saya tidak perhatian, selalu mendahulukan kepentingan kantor daripada istri, bahkan saya dikatakan sudah tidak cinta lagi pada dia. Keluhannya membuat saya amat marah karena merasa kerja keras saya selama ini tidak dihargai. Apa dia tidak menyadari bahwa saya bekerja ini ‘kan untuk keluarga. Masa keluarga dan teman-teman memuji kerja keras saya, eh, justru istri sendiri tidak melihat hal itu sebagai prestasi ?” Yoni berkata dengan suara keras.

“Menurut saya, Yuniar depresi bukan semata-mata karena saya tetapi ada hal-hal lain yang berperan. Mungkin Yuniar belum cerita pada Ibu tentang masalahnya di kantor. Dia sesungguhnya sudah lama tidak betah bekerja di kantornya, karena persaingan di antara teman-temannya yang kurang sehat. Sudah berkali-kali saya menyarankan dia untuk pindah kerja karena saya yakin dia bisa memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Susahnya, bila saya beri solusi atas masalah kantornya, Yuniar tidak mau terima. Dia bilang, saya tidak bisa mengerti perasaannya. Ya sudah . lama-lama kalau dia mengeluh, saya tidak mau berkomentar apa-apa lagi. Toh dia tidak mau menuruti anjuran saya”.

“Mungkin Yuniar juga sudah mengatakan pada Ibu bahwa dia sering sakit hati dengan kata-kata saya bila kami sedang berbeda pendapat. Memang betul saya kadang-kadang bicara kasar bila Yuniar tidak juga mengerti pembicaraan saya. Yuniar itu perempuan yang pandai, tetapi agak sulit menerima masukan dari orang lain, terutama dari saya sebagai suaminya. Serba salah kan jadinya … “

Saran Psikolog

Dalam setiap perkawinan, latar belakang keluarga masing-masing pasangan amat mempengaruhi harapan-harapan terhadap peran suami dan istri serta cara mereka saling berinteraksi. Dalam perkawinannya saat ini Yuniar berharap memiliki suami pekerja keras tetapi tetap memiliki hubungan yang hangat dengan istri dan anak-anak. Sementara Yoni mendambakan keluarga dengan peran suami yang dominan dan sukses.

Yuniar dan Yoni bukannya tidak memahami adanya perbedaan latar belakang keluarga pasangannya. Namun mereka belum menyadari bahwa pertengkaran mereka selama ini juga disebabkan oleh pola asuh yang mereka peroleh dari keluarga masing-masing.

Cara pasangan ini mengkomunikasikan pendapatnya ini juga berbeda. Hal ini terutama tampak jelas ketika saya bertemu dengan mereka berdua. Yuniar terbiasa untuk berbicara lebih lambat, mengemukakan detil-detil yang disertai ungkapan perasaan. Sebaliknya, Yoni terbiasa untuk berpikir dan berbicara dengan singkat serta mementingkan solusi. Jadi ketika Yuniar sedang bercerita, Yoni seringkali memotong pembicaraannya atau terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri. Belum selesai Yuniar menjelaskan tentang perasaannya, Yoni sudah menyodorkan berbagai solusi.

Dapat diterka, percakapan mereka berakhir dengan argumentasi karena masing-masing merasa tidak didengarkan.

Untuk menghindari argumentasi yang berlarut-larut dan mengubah cara komunikasi mereka yang saling menyalahkan, saya sengaja mengajak pasangan ini untuk berbicara tentang keluarga masing-masing. Yuniar saya minta untuk menjelaskan tentang kondisi keluarga Yoni, dan sebaliknya Yoni menceritakan tentang keluarga istrinya. Dengan pertanyaan-pertanyaan saya yang mengarahkan mereka untuk menemukan perbedaan dan persamaan diantara keluarga masing-masing, Yuniar dan Yoni menjadi sadar akan akar masalah mereka.

Bila dilihat dari posisi mereka sebagai anak pertama, Yoni dan Yuniar memiliki banyak persamaan : sama-sama pandai, mandiri, bertanggung-jawab dan terbiasa mengambil keputusan. Keduanya juga merupakan tumpuan harapan dalam keluarga. Sayangnya, kesamaan dalam karakteristik kepribadian ini juga menimbulkan masalah. Mereka tidak terbiasa untuk melakukan kompromi dan mendengarkan pendapat pasangannya. Selama masa pacaran dan setelah menikah, Yuniar merasa dirinya lebih banyak mengalah. Hal ini sebenarnya tidak disukainya karena dalam keluarganya justru adik-adiknyalah yang mengalah pada keputusan-keputusannya. Secara tidak disadarinya, Yuniar menunjukkan pemberontakannya kepada Yoni dengan cara banyak mengeluh dan menolak saran-saran dari suaminya itu.

Yoni tidak merasakan masalah yang besar dalam perkawinannya karena selain ia memperoleh kepuasan dalam pekerjaan, Yoni juga seseorang yang rasional. Sebaliknya, Yuniar semakin lama semakin tidak bahagia karena baik di dalam pekerjaan maupun perkawinannya ia mengalami masalah yang tidak terselesaikan.

Yuniar akhirnya mengakui bahwa ia cenderung terlalu sensitif pada pendapat orang lain. Ia merasa sangat tidak nyaman bila ada teman-teman yang tidak menyukainya, terutama di lingkungan kantornya yang sekarang. Ketika Yuniar sedang menceritakan tentang kondisi kantornya, saya meminta pada Yoni untuk hanya mendengarkan dan lebih dapat berempati pada perasaan Yuniar. Sebab yang dibutuhkan Yuniar bukanlah solusi melainkan penerimaan akan ada yang dirasakan dan dialaminya.

Pada pertemuan kami yang keempat, saya bertindak menjadi penengah yang memberi contoh kepada mereka berdua bagaimana caranya untuk benar-benar mendengarkan orang lain dan memahami perasaan di balik kata-kata yang diucapkan.

Karena kesibukan Yoni, kami hanya dapat bertemu bersama satu bulan sekali. Namun saya merasa sangat senang karena baik Yoni maupun Yuniar memiliki motivasi yang tinggi untuk mengubah diri dan bersedia melakukan introspeksi diri. Untuk membantu Yuniar memahami kondisinya moodnya yang cenderung depresif, saya memberikan buku-buku self-help yang berkaitan dengan hal tersebut. Ia mengaku amat terbantu dengan bacaan yang saya berikan sehingga kini ia mempunya hobi baru yaitu berburu buku-buku psikologi berbahasa Inggris.

Disamping itu Yuniar kini lebih rajin berolah raga dan merawat diri karena menyadari kaitan erat antara fisik dengan keadaan emosional.

Perubahan positif pada diri Yuniar sudah tentu menular pula pada Yoni. Kini ia mengaku lebih senang berada di rumah bersama istri dan keluarga dibandingkan berlama-lama bekerja di kantor. Dalam konseling Yoni tampak lebih banyak tertawa dan bahkan sering menggoda Yuniar yang kini dianggapnya lebih modis dalam berpakaian dan tidak lagi sering mengeluh seperti sebelumnya.

“Teman-teman saya di kantor banyak yang merasa iri pada saya karena memiliki suami yang pandai, kaya dan tidak pelit. Seandainya saja mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi …”,

’Masa’ keluarga dan teman-teman memuji kerja keras saya, eh, justru istri sendiri tidak melihat hal itu sebagai prestasi ?”

Rubrik ini dikelola redaksi Ayahbuanda bekerjasama dengan tim psikologi di bawah koordinasi DR. JEANETTE M. LESMANA, staf senior pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Penasihat kali ini Adriana S. Ginanjar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar