Menata Moralitas Keluarga

Salah satu pasal kontroversial dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan yang baru adalah pasal tentang pendidikan keluarga yang berbunyi; ? orang tua wajib mengawasi dan membimbing perilaku anaknya.? Reaksi terhadap pasal ini kemudian muncul dari banyak kalangan yang menganggap pemerintah sudah keblinger (bingung) - karena tanpa kewajiban dari pemerintah pun setiap orang tua secara kodrati pasti mengawasi dan membimbing perilaku anaknya. Ada tiga muatan kelemahan hadirnya pasal tersebut.

Pertama, secara filosofis, proses pendidikan itu memang seharusnya dikembangkan sebagaimana orang tua mendidik anaknya dengan penuh kasih sayang. Tanpa roh pendidikan seperti itu maka pendidikan akan mekanistis, formalitas, dan tidak bermoral termasuk akan cenderung birokratis dan komersial.

Kedua, proses pendidikan keluarga adalah informal dan alamiah sifatnya karena itu pendidikan keluarga seharusnya dijauhkan dari intervensi pihak luar apalagi dari negara.

Ketiga, kebebasan hidup dan berpikir diawali dari keluarga. Jika kehidupan keluarga diatur pihak luar (negara) maka sama artinya ?membunuh? kebebasan itu sendiri. Selama ini kita sering mendengar lontaran bahwa merosotnya mutu pendidikan pada bangsa ini disebabkan rendahnya mutu para guru, fasilitas sekolah yang tidak lengkap, dan kurikulum pendidikan yang tidak marketable ?sehingga mendorong diujicobanya konsep anyar kurikulum berbasis kompetensi (KBK).

Masalah keluarga seolah luput dari perbincangan publik dan sama sekali tidak ada urusannya dengan mutu pendidikan. Sebetulnya, baik buruknya mutu pendidikan pada satu peradaban sangat tergantung pada mutu kehidupan keluarga. Jika kehidupan keluarganya harmonis dan dilandasi cinta dan kasih sayang satu sama lain, maka dengan sendirinya mutu manusia termasuk mutu pendidikan pun akan baik pula. Sebaliknya, jika kehidupan keluarganya berantakan (broken home) maka mutu pendidikan dan mutu manusianya pun akan sangat sulit diharapkan. Pada tataran inilah ada ungkapan yang menarik untuk direnungkan bahwa ?seorang anak nantinya akan menjadi pastor, kiai, pendeta, atau pendekar sekalipun, sangat ditentukan sejauh mana keluarga mendidik, membimbing, dan mendampinginya?. Dengan kata lain, semua itu sangat tergantung bagaimana orang tua mampu menata moralitas keluarga secara baik. Dalam analisa kasus siswa di sekolah yang saya tangani selama tahun pelajaran 2001/2002, remaja bermasalah di sekolah didominasi oleh siswa dari latar belakang keluarga broken home ? dimana orang tuanya cerai, pisah ranjang, pisah rumah, kawin kontrak, dan lain sebagainya.

Masalah perkembangan psikologis anak berupa kasih sayang dan perhatian oleh orang tua kemudian disamakan dengan pemberian fasilitas yang berlebihan. Padahal sangatlah keliru pendapat yang mengatakan bahwa tercukupinya kebutuhan materil menjadi jaminan berlangsungnya perkembangan kepribadian yang optimal. Pada tataran inilah, menata kembali moralitas keluarga menjadi urgen untuk dipikirkan. Sikap toleransi, penuh perhatian, kasih sayang, saling menghormati, dan cinta yang tulus serta ditunjukkan dalam perilaku yang penuh tanggung jawab, merupakan perangkat moral yang harus dimiliki seseorang dalam kehidupan keluarga. Lalu mengapa perlu menata moralitas keluarga? Pertama, keluarga merupakan komunitas pendidikan utama dan pertama bagi seseorang. Pada keluarga diharapkan nilai-nilai toleransi dapat dapat sejak dini diajarkan sehingga nantinya dapat merambah pada komunitas yang lebih luas. Kedua, keluarga merupakan tempat persemaian pertama pertumbuhan dan perkembangan anak. Untuk ini dibutuhkan kondisi dimana relasi antar anggota keluarga itu baik.

Di keluarga, seorang anak harus diperhatikan secara utuh aspek fisik, kepribadian, intelektual, emosional, dan spiritualnya. Jika dua hal ini terwujud maka keluarga akan menjadi ?kebun Tuhan? yang ditumbuhi berbagai tanaman kasih sayang yang membahagiakan dan menyempurnakan hidup. [ KL ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar