Banyak sekali dampak negatif perceraian yang bisa muncul pada anak. "Marah pada diri sendiri, marah pada lingkungan, jadi pembangkang, enggak sabaran, impulsif," ujar Clara. Bisa jadi, anak akan merasa bersalah (guilty feeling) dan menganggap dirinyalah biang keladi atau penyebab perceraian orangtuanya. "Anak merasakan, 'Ah, jangan-jangan saya yang membuat Papa-Mama bercerai,' sehingga muncul rasa marah campur rasa bersalah." Apalagi jika dalam proses selanjutnya, terjadi perebutan anak antara suami-istri. "Anak jadi bingung, pingin ikut ayah, tapi kok akhirnya ikut sang ibu. Ia akan merasa menjadi biang keladi perebutan itu." Dampak lain adalah anak jadi apatis, menarik diri, atau sebaliknya, mungkin kelihatan tidak terpengaruh oleh perceraian orangtuanya. "Orangtua harus harus hati-hati melihat, apakah ini memang reaksi yang wajar, karena dia sudah secara matang bisa menerima hal itu, atau hanya pura-pura." Anak juga bisa jadi tidak pe-de dan takut menjalin kedekatan (intimacy) dengan lawan jenis. "Ke depannya, setelah dewasa, anak cenderung enggak berani untuk commit pada suatu hubungan. Pacaran-putus, pacaran-putus." Self esteem anak juga bisa turun. "Jika self esteem-nya jadi sangat rendah dan rasa bersalahnya sangat besar, anak bisa jadi akan dendam pada orangtuanya, terlibat drugs dan alkohol, dan yang ekstrem, muncul pikiran untuk bunuh diri." Beban sebagai publik figur atau anak pasangan publik figur, seperti yang terjadi pada anak-anak pasangan Dewi Yull-Ray Sahetapi, juga akan semakin besar. "Orang biasa saja menghadapi kasus perceraian pasti terbebani, kok, apalagi publik figur.
Semua orang bisa lihat dan berkomentar macam-macam." Ada juga yang kemudian jadi merendahkan salah satu orangtua, tidak lagi bisa percaya pada orangtua, atau sebaliknya, terlalu mengidentifikasi salah satu orangtua. Misalnya, anak sangat kasihan pada salah satu pihak. "Apalagi jika anak sudah besar dan punya keinginan untuk menyelamatkan perkawinan orangtuanya, tapi tidak berhasil. Ia akan merasa sangat menyesal, merasakan bahwa omongannya tak digubris, merasa diabaikan, dan merasa bukan bagian penting dari kehidupan orangtuanya." Perasaan marah dan kecewa pada orangtua merupakan sesuatu yang wajar, seperti yang dilontarkan Gisca pada sang ayah "Ini adalah proses dari apa yang sesungguhnya ada di hati anak. Jadi, biarkan anak marah, daripada memendam kemarahan dan kemudian mengekspresikannya ke tempat yang salah," ujar Clara.
HAL-HAL YANG HARUS DILAKUKAN
Apa saja yang sebaiknya dilakukan orangtua yang akan atau telah bercerai agar tak terlalu berdampak negatif pada anak?
1. Sejak awal, kalau bisa libatkan anak dalam proses perceraian. Paling tidak, anak akan merasa didengarkan, tidak hanya menerima perceraian orangtuanya secara tiba-tiba.
2. Jika perceraian terjadi, usahakan me-maintain rutinitas keluarga tetap seperti sediakala. Misalnya, tetap berkumpul bersama. Usahakan situasi tidak hilang begitu atau berubah total. Buatlah masa-masa transisi yang smooth, supaya anak juga bisa merasakan, 'Oh, mereka sudah tidak bersatu lagi tapi mereka masih sayang sama saya, saya juga masih bisa mendapatkan apa yang saya butuhkan dari mereka.'
3. Jangan ingkar janji. Kalau memang pernah berjanji untuk tetap selalu bertemu anak setelah perceraian, penuhi itu. Ini akan membangun rasa percaya (trust) anak pada orangtua. Ingat, tidak ada yang namanya bekas anak atau bekas orangtua.
4. Sebisa mungkin lebih terlibat dengan kegiatan sekolah anak, serta memberi dukungan yang dibutuhkan anak. Mungkin anak punya ketakutan, 'Wah nanti saya enggak bisa dijemput Papa-Mama lagi,' dan sebagainya.
5. Hindari pertentangan. Anak-anak sudah cukup menderita karena perceraian orangtuanya, jadi jangan tambah beban mereka dengan menentang mereka. Misalnya, salah satu orangtua merasa anak malah membela salah satu pihak, dan kemudian menyalahkan anak. Rasa marah, tak setuju, kecewa, itu merupakan proses anak dalam menghadapi perceraian orangtuanya. Justru anak harus dibantu mengungkapkan itu secara positif supaya tidak salah mengungkapkan.
6. Kalau memang perlu, libatkan dukungan pihak ketiga, misalnya kakek-nenek dalam masa transisi. Dan kalau memang merasa tak mampu mengatasi sendiri, berkonsultasilah dengan profesional Kutipan wawancara dari salah satu media cetak di jakarta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
About Wedding
Aktivitas Keluarga
Asuransi Keluarga
Belajar bisnis
Berlibur
Buah Hati
Cinta - Love - Katresnan
Dunia bercinta
Dunia Laki-laki
Dunia Wanita
Fase Pernikahan
Honey Moon
ibadah - puasa
Inspirasi
Istri harus tahu ini...
Kehamilan
Kesehatan Keluarga
Keuangan Keluarga
Komunikasi Sosial
Kontrasepsi Suntik
Malam Pertama
Masa Lalu
Membuka Usaha
Mengurus bayi
Menuju Pernikahan
Menyambut Hari Raya
Obesitas
Pasca Persalinan
Pekerjaan
Pembelanjaan - Kebutuhan RT
Pendidikan Anak
Pengasuh Anak
Perawatan diri - Kecantikan
Perceraian
Perencanaan Keluarga
Pernak-pernik
Persalinan
Perselingkuhan
Poligami
Psikologi anak
Psikology keluarga
Rumahku Surgaku
Sebuah perselisihan
Suami harus tahu ini....
Tentang Seks
Tips - Triks
Tidak ada komentar:
Posting Komentar