Anak Tuntaskan Konflik Perkawinan?



“Belum punya anak sih… jadi hubunganmu dengan suami kurang akur!” begitu komentar orang tua yang hingga kini masih kerap terdengar. Benar demikian?

Akhir-akhir ini Alma merasa hubungannya dengan Dicky, suaminya, semakin kurang harmonis. Setiap hari, ada saja hal-hal yang memicu pertengkaran diantara mereka. Dari masalah sepele, seperti Dicky yang lupa mematikan lampu kamar mandi, hingga kekesalan Alma pada kebiasaan Dicky yang setiap malam selalu bersantai bersama teman-temannya di kafe.

Dicky pun kesal pada Alma . Ia menilai istri, yang telah dinikahinya selama 2,5 tahun ini, terlalu mengatur kehidupannya.

Pertengkaran demi pertengkaran yang kerap muncul ini membuat hubungan mereka semakin renggang. “Apakah nasihat ibu benar bila telah memiliki anak hubungan aki dan Dicky bisa akur kembali?” tanya Alma dalam hati.

Kehadiran anak membahagiakan

Tak jarang beberapa wanita atau laki-laki muda terpaku oleh bayangan indah keluarga bahagia seperti dikisahkan film-film keluarga buatan Amerika tahun 80’an, seperti The Cosby Show atau Family Ties . Film-film yang ditayangkan di layar televisi ini selalu menampilkan adegan betapa bahagia dan harmonisnya sepasang suami-istri dengan anak-anak mereka yang manis dan lucu.

Di film itu, terpapar jelas makna kehadiran anak dalam suatu rumah tangga. Hadirnya anak-anak membuat sebuah keluarga selalu bahagia dan hubungan suami-istri semakin erat. Kehadiran anak juga dapat menghilangkan masalah yang mengganggu keharmonisan diantara sepasang suami-istri.

Selain itu, beredarnya mitos-mitos mengenai makna anak dalam perkawinan yang bisa saja menyesatkan pasangan muda, semakin menguatkan opini publik bahwa kehadiran anak akan menuntaskan masalah dalam sebuah perkawinan. Mitos-mitos yang kerap terdengar itu, antara lain: pasangan tanpa anak adalah pasangan yang frustrasi dan tidak bahagia, anak dapat meningkatkan kualitas perkawinan, atau membesarkan anak adalah pekerjaan yang menyenangkan.

Walaupun mitos-mitos ini tak sepenuhnya betul, namun tak dapat dipungkiri, kehadiran anak dapat membawa kebahagiaan pada ayah maupun ibu sebagai pribadi, namun tidak pada hubungan mereka yang sedang bermasalah. Justru, kehadiran anak dalam situasi seperti ini cenderung berakibat negatif terhadap kehidupan perkawinan mereka.

Menurut para ahli dan konsultan perkawinan, transisi seseorang menjadi orang tua lebih berat daripada transisi yang harus dilalui sebelumnya, yaitu menjadi suami atau istri.

Selesaikan dulu masalah, baru pikirkan anak

Melihat kenyataan ini, memang diperlukan pertimbangan matang dan juga peninjauan kembali motivasi pasangan suami-istri untuk memiliki anak. Apakah keinginan punya anak merupakan perwujudan dari pelarian mereka terhadap masalah-masalah yang menghantui kehidupan perkawinan? Jika “ya”, kehadiran si kecil justru dapat memperburuk masalah perkawinan yang ada. Yang lebih penting lagi, dikhawatirkan masalah ini berimbas pada tumbuh-kembang si kecil.

Yang terbaik adalah menyelesaikan semua konflik dengan pasangan sebelum si kecil hadir. Komunikasikan semua masalah secara terbuka, untuk mengurai semua beban hati yang ada. Setelah itu, cobalah membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dengan kehadiran si kecil, dari kemungkinan terbaik hingga terburuk secara tuntas.

Setelah tidak ada lagi beban tersisa di dalam hati, dan hubungan Anda dan pasangan kembali harmonis, tak ada salahnya memikirkan kembali kemungkinan hadirnya si kecil. Kali ini pastikan motivasi memiliki anak adalah keinginan untuk meningkatkan dan memperkaya hubungan dengan pasangan yang memang sudah baik agar semakin baik. Ini merupakan dasar terbaik yang dibutuhkan setiap pasangan suami-istri dalam membentuk tim yang kuat dan kompak, yaitu keluarga.

Cherry Riadi Lukman ( ayahbunda-online.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar